Minggu, 08 Des 2024
  • Selamat Datang di Official Website SMAIT NURUL IHSAN Boarding School Cilacap Berakreditasi B © 2023 All Rights Reserved.

Fikih Pendidikan Anak silsilah no 116

Fikih Pendidikan Anak
silsilah no 116

Dengan memahami metode pembelajaran yang baik, proses pendidikan yang diharapkan berlangsung setiap waktu, tanpa anak-anak terus digurui dan orang tua tidak merasa terbebani. Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas metode ketujuh adalah motivasi berupa hadiah dan hukuman. Saat itu juga telah menerima beberapa rambu agar hadiah efektif. Berikut pembahasan tentang rambu-rambu agar keputusan efektif.

Realita membuktikan adanya anak-anak yang kebal dengan hukuman. Indikatornya: walaupun telah berkali-kali dijatuhkan hukuman, bahkan sudah ditingkatkan level hukumannya, namun tetap saja mengulangi kesalahan yang sama. Indikator lainnya: anak belum tergerak melakukan sesuatu atau meninggalkannya sebelum memperoleh hukuman terlebih dahulu.

Kejadian ini biasanya dipicu dari anggapan bahwa tidak ada alternatif cara lain untuk mengubah perilaku buruk anak, selain dengan hukuman. Padahal masih banyak metode lainnya. Seandainya diperlukan hukuman pun, ada aturan dan caranya. Berikut rambu-rambu tersebut:

A. Proporsionalkan antara hukuman dengan hadiah

Proporsional di sini bukan berarti sama persis, 50:50, bukan!. Maksud dari keseimbangan di sini adalah bahwa hadiah seharusnya lebih dominan dibanding hukuman. Sebab di dalam ajaran agama kita, sikap lembut seharusnya lebih dominan dibanding sikap keras.

Masalah seringkali muncul akibat prakteknya dibalik. Hukuman yang lebih dominan dibanding hadiah. Di mana orang tua dan pendidik selalu merespon perilaku buruk anak dengan hukuman, dan hampir tidak pernah merespon perilaku baik anak dengan hadiah. Alasannya: perilaku baik itu sudah sewajarnya dilakukan anak. Sehingga tidak perlu diapresisasi.

Padahal seharusnya kita memprioritaskan perhatian pada kebaikan-kebaikan yang dilakukan anak, walau sekecil apapun. Untuk segera diberi perhatian positif, supaya kebaikan tersebut semakin terus berkembang. Adapun kesalahan-kesalahan anak, maka tetap dicatat. Jika dibutuhkan hukuman, maka lakukan sewajarnya. Namun tidak terus menerus dijadikan pusat perhatian secara berlebihan.

B. Berikan kepercayaan dulu baru hukuman

Saat anak melakukan kesalahan, seharusnya komentar yang diberikan adalah komentar yang mengandung kepercayaan. Hukuman, baik berupa kata-kata pedas, kemarahan, maupun hukuman fisik lain, adalah alternatif urutan terakhir. Setelah upaya secara halus dan lembut tidak membuahkan hasil.

Ketika anak tidak kunjung pergi mandi, sementara waktu sudah mendekati Maghrib, kita bisa katakan, Kamu belum mandi, nak? Tapi ibu tahu kamu bisa memperkirakan sendiri waktumu. Kamu punya waktu 15 menit lagi sebelum Maghrib.

Komentar seperti ini terasa lebih sejuk daripada nasehat yang sifatnya memojokkan kesalahan anak. Seperti komentar berikut, Sudah hampir Maghrib, kok belum mandi juga? Selalu saja begitu setiap hari. Kapan kamu bisa mengatur waktumu dengan baik?!.

Sekilas dua komentar tersebut tidak berbeda. Padahal bila itu terus menerus terulang, akan menimbulkan perasaan yang berbeda dalam diri anak. Komentar-komentar yang disertai kepercayaan dan prasangka baik, seperti komentar pertama, akan menumbuhkan motivasi anak untuk berperilaku seperti yang diprasangkakan padanya. Lagipula anak insyaAllah akan lebih menghormati dan mencintai ibunya; karena tidak menyudutkannya dengan kesalahannya.

Sebaliknya, komentar jenis kedua, yang menyudutkan anak dengan kesalahan-kesalahannya, jika selalu diulang, akan membuat anak jengkel. Kalaupun mereka mematuhinya, lebih karena sulit rasa takut. Itupun sambil memendam bibit kejengkelan, yang kian lama akan merusak hubungan ibu dan anak. Bersambung
 Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 17 Dzulqa’dah 1439/30 Juli 201

Post Terkait

Anak Dan Seni
28 Mei 2020

Anak Dan Seni

0 Komentar

KELUAR