USTADZ JUGA MANUSIA
Allah ta’ala itu sangat sayang sekali untuk para hamba-Nya. Banyak bukti yang menunjukkan hal itu. Diambil: fasilitas hidup super lengkap yang tersedia di muka bumi. Semua kebutuhan kita ada. Udara, makanan, minuman, kendaraan, tempat tinggal, pasangan hidup, pasangan dan lain-lain.
Dalam salah satu ayat suci al-Qur’an suci,
“هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا”
Artinya: “Dialah (Allah) yang menciptakan segala yang ada di bumi untuk kalian”. QS. Al-Baqarah (2): 29.
Bukan hanya fasilitas yang mendukung duniawi, namun juga petunjuk yang mengantarkan ke kebahagiaan abadi di surga pun disediakan oleh-Nya.
Allah ta’ala menurunkan kitab-kitab suci. Mengutus para Nabi dan Rasul ‘alaihimussalam. Sekaligus menyediakan pewaris nabi, yaitu para ulama, yang selalu ada di setiap zaman.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ”
“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi”. SDM. Abu Dawud dari Abu Darda ‘radhiyallahu’ anhu dan dinyatakan sahih oleh Ibn Hibban dan al-Albaniy.
Beda Nabi dan Ulama
Meskipun para nabi dan para ulama sama-sama berjuang mencapai agama Allah, namun ada perbedaan mendasar antara mereka. Misalnya: para nabi, mereka itu maksum. Terjaga dari kesalahan. Sementara para ulama, mereka manusia biasa yang berpeluang untuk keliru.
Maka haruslah kitapun berpindah proporsional kepada para ulama, kyai, ustadz, mubaligh, dai dan yang semisal. Tidak boleh mengkultuskan mereka. Tetap harus menghargai mereka.
Penghormatan itu tidak identik dengan pengkultusan. Penyebab penghormatan adalah sesuatu yang terpuji. Sedangkan pengkultusan merupakan hal yang tercela. Karena bertolak belakang dengan ajaran Islam yang mengatur sikap ekstrim dan berlebihan.
Sikap Bijak Saat Ulama Salah
Terkadang kita berekspektasi terlampau tinggi terhadap ulama. Berharap mereka menjadi sosok sempurna bak para nabi dan rasul ‘alaihimussalam. Tanpa cela sedikitpun. Padahal mereka adalah manusia biasa. Harus tetap berpeluang untuk melakukan kesalahan. Entah itu dalam ucapan atau tindakan. Salah dalam berfatwa misalnya. Atau melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan aturan agama.
Dalam kondisi seperti itu, maka sikap kita yang benar selaku umat adalah:
Pertama: Meyakini itu adalah kesalahan
Kesalahan tetap merupakan kesalahan. Tidak berubah menjadi kebenaran. Sekalipun yang dilakukan adalah ulama.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menyampaikan wejangannya,
“Sesungguhnya kebenaran itu tidak ditimbang dari pada siapa yang menjawabnya. Namun kenalilah kebenaran sebelumnya. Niscaya saat itu tiba, bisa mengerti siapakah orang-orang yang benar ”.
Kedua: Menjaga kehormatan mereka
Saat meyakini bahwa ulama atau ustadz Ahlus Sunnah anu telah keliru, bukan berarti kita bisa menjatuhkan harga diri mereka. Penyebab layanan mereka lebih dari kesalahannya.
Sai’d bin al-Musayyib (w. 93 H) rahimahullah menjelaskan,
“Setiap ulama, orang mulia atau manusia utama, pasti memiliki aib. Namun, seorang yang lebih dominan dari pada kekurangannya, maka kekurangan tersebut ditolak. Lantaran keutamaan yang dia miliki ”.
Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, Jum’at, 22 Rajab 1440 H / 29 Maret 2019
Abdullah Zaen